Analogi VS Model


Author: Ditdit NugerahaUtama
Faculty of Mathematics and Informatics, Göttingen University
@Göttingen – Germany, December 17, 2014

Bismillah...
"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan..." (QS. Al-'Alaq [96]: 1) 
"... Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir" (QS.Al-Hasyr [59]: 21)

Melanjutkan pembahasan dengan tema mengenai model, sekarang disini akan sedikit dibahas mengenai analogi. Analogi berbeda dengan model. Analogi tidak merepresentasikan sesuatu dalam rangka dicoba untuk direplika. Analogi, hanyalah mengambil sebuah sudut pandang atas sesuatu, untuk dapat menjelaskan sesuatu yang lain agar menjadi lebih jelas dan logis adanya. Pesawat dibuat berdasarkan atas analogi burung. Pembuatan pesawat bukanlah sedang dalam rangka memodelkan burung atau sedang mereplikanya. Burung bukanlah realitas dari pesawat, dan pesawat pun bukanlah model burung. Dalam hal ini, burung hanya sebagai sebuah analogi atas sesuatu yang bisa terbang secara setimbang. Dalam hal ini pula, burung hanyalah ide dari pengembangan sebuah pesawat.

Contoh lain. Mengenai pondasi cakar ayam di dunia arsitektur. Si pembuat pondasi cakar ayam tentulah tidak sedang memodelkan cakar ayam, atau tidak juga sedang memodelkan akar serabut pohon kelapa (ide dasar jenis pondasi ini); kedua fenomena alam itu hanyalah analogi yang digunakan Prof. Dr. Ir. Sedijatmo (penemu pondasi cakar ayam) untuk mengembangan jenis pondasi yang kokoh dan berbiaya murah, walaupun dalam kondisi tanah yang lunak dan tidak konsisten.

Contoh lain. Kita tidak perlu mendefinisikan ‘manusia yang bermanfaat bagi manusia lain atau alam‘ itu seperti apa, dimana kadang definisi hanya menjadi sebuah dogma saja dan mengkebiri daya nalar manusia saja pada akhirnya; namun kita dapat menganalogikan seekor ‘lebah‘ untuk menjelaskan ‘manusia yang bermanfaat‘ tersebut. Dimana pun lebah hinggap, tidak ada satu dahan pun yang patah. Lebah hanya memakan (menghisap) apa-apa yang manis (manis adalah analogi kebajikan, atau kehalalan) dan hanya mengeluarkan yang manis pula. Lebah tidak pernah mengganggu manusia, namun jangan pernah manusia mengganggu lebah, jika tidak ingin sekawanan lebah akan mengejarmu sampai mana pun. Kita tidak sedang memodelkan lebah, kita – hanya – sedang mejelaskan ‘manusia yang bermanfaat‘ dangan mengambil fenomena seekor lebah sebagai analoginya.

Batasan model dan analogi ada pada tataran ide. Model bertujuan untuk menjelaskan sesuatu yang dimodelkan agar menjadi lebih detail dan mudah dipahami, dimana keadaan / kondisi nyata tersebut dibawa ke alam logis yang penuh dengan perhitungan yang lebih sederhana dari kenyataannya. Menjadi lebih logis dan sederhana, karena model mengambil konstrain/batasan/parameter tertentu. Jumlah konstrain inilah yang sangat disesuaikan dengan kemampuan si pengembang model, termasuk ketersediaan data pendukung. Sedangkan analogi hanyalah melihat sesuatu yang tersaji di dunia nyata untuk membuat atau menjelaskan sesuatu – yang lain – agar lebih sederhana dan dapat mudah untuk dimengerti dan tentunya akan sangat bermanfaat.

Penilaian kebenaran analogi sama saja dengan menilai sebuah model. Model tidak bisa dipersalahkan melalui penilaian dengan menggunakan konstrain lain. Model tidak akan pernah dapat dipersalahkan, yang dapat dipersalahkan adalah konsistensi keterhubungan antar konstrain pembentukannya atau konsistensi konstrain pembentuknya itu sendiri (verifikasi), atau konsistensi konstrain pembentuknya dengan hasil yang dibandingkan dengan data sample dari dunia nyata (validasi). Nilai model bukanlah terletak pada kebenaran model itu sendiri, namun terletak pada seberapa banyak konstrain yang dipakai dan konsistensi keterhubungan antar konstrain dan konsistensi dari konstrain-konstrainnya itu sendiri. Begitu juga dengan analogi. Analogi tidak bisa dipersalahkan melalui penilaian dengan menggunakan konstrain yang memang tidak pernah dipakai di dalam analogi tersebut. Seperti contoh di atas, kita tidak bisa membantah analogi lebah dengan mengatakan bahwa ‘jadi manusia yang bermanfaat itu harus bisa terbang seperti lebah‘; karena terbangnya lebah – bisa jadi – bukan menjadi salah satu konstrain analogi tersebut di dalam menjelaskan makna ‘manusia yang bermanfaat‘.

Jadi kesimpulannya, tidak ada analogi atau model yang salah, walau pun kadang analogi atau model tidaklah cukup memenuhi rasa terpuaskannya akal ini. Namun satu hal yang penting, bahwa kita tidak pernah akan paham atau tahu makna hakikat atas sesuatu, tanpa ada analogi atau tanpa beranalogi. Karena, semua yang tersaji di alam ini, adalah analogi bagi sesuatu yang lain untuk coba kita pahami... [dnu]

Alhamdulillah...

Filosofi Model dan Modeling

Author: Ditdit Nugeraha Utama
Faculty of Mathematics and Informatics, Göttingen University
@Göttingen – Germany, February 12, 2014

Bismillah...
‘Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu...’ (QS. AlAhzab[33]: 21)

Problem domain, memungkinkan aktivitas analisis dan perhitungan menjadi sangat murah dan sederhana. Bolehlah tidak sampai dikatakan nir risiko dan nir biaya, namun setidaknya problem domain membuat risiko dan biaya jauh dari yang dibayangkan; jauh lebih rendah dari pada kita melakukan analisis dan perhitungan langsung pada level implementasi (real domain). Misal, implementasi bus-way untuk mengatasi permasalahan kemacetan kota Jakarta yang bernilai ratusan milyar dan juga memiliki risiko tidak sedikit; mungkin merupakan alternatif keputusan yang tidak akan pernah disarankan dari hasil analisis dan perhitungan pada ranah problem domain. Atau, rekayasa cuaca – bisa jadi – bukanlah merupakan saran objektif yang disarankan dari hasil analisi dan perhitungan yang ada pada problem domain; bahkan tidak perlu sampai menjadi pemborosan tingkat tinggi bahkan mendekati mubadzir,  hanya karena Jakarta ingin menjadi bebas dari banjir. Dan masih banyak contoh implementasi nyata, yang kadang menjadi salah kaprah pada level implementasi, karena tanpa analisis dan perhitungan yang objektif.

Gambar 1. Sudut Pandang Model (Utama, 2014)

Model, itu menjadi jawabannya. Bagaimana kita mencoba untuk menggambarkan ceruk sekat dunia nyata (real domain) pada barier yang sempit yang disebut model, pada ranah problem domain. Bagaimana kita mencoba untuk memperjelas bagian dan parameter pembentuk sistem nyata, menjadi sebuah gambaran utuh yang tertuang dalam sebuah replika sederhana dengan konstrain yang terbatas; lebih jelas dan lebih gamblang. Sehingga, level akurasi analisis dan perhitungan untuk memunculkan saran keputusan yang akan diimplementasikan pada level nyata, akan lebih dapat dipertanggungjawabkan keobjektifannya. Bukan benar atau salah pada ‘level tataran hasil’, namun model merupakan cerminan usaha optimal manusia untuk dapat menghitang-hitung kemungkinan terbaik yang akan dilakukan; walau pun, parameter yang digunakan – sudah pasti tentunya – tidak akan sama dengan kenyataannya. Bagaimana pun, replika, tentulah tidak akan pernah menyerupai apa yang dicontohkan.

Model pun, mendorong kita – para pengambil keputusan – untuk bertindak berdasarkan nalar yang sangat terstruktur; bukan subjektif semu dan intuisi (gut feeling based on experience) asal. Sehingga, setiap keputusan yang diambil, dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan kuantitatif. logis, karena manusia dititipi akal sebagai pembeda dengan makhluk lainnya; kuantitatif, karena memang nilai-nilai matematis kadang lebih vulgar dan jelas untuk dapat dipahami.

Model mampu mentrasfer sistem berbatas pada dunia nyata, menjadi sebuah ‘kiasan’ sempit yang sangat mudah untuk dipahami. Sehingga, model dapat dikatakan sebagai sebuah replika dari realita. Atau, model dapat juga disebut sebagai sebuah kompromi dari sistem nyata, karena hanya fokus pada berbagai jenis constraint yang dimiliki atau yang dianggap penting atau yang mampu terdeteksi saja; sehingga model memang mengkompromikan beberapa hal dari dunia nyata, karena keterbatasan manusia mentransfer semua kemungkinan parameter yang dimiliki alam. Bisa juga, model disebut dengan karikatur dunia nyata, yang memiliki pandang fisik yang hampir mirip dengan skema dunia nyata yang sedang dibicarakan; hanya tentunya saja dalam skala yang berbeda, disesuaikan dengan batas masalah (problem domain) yang menjadi batas tujuan pembuatan model itu sendiri. Berbagai jenis sudut pandang model, dapat dilihat pada Gambar 1.

Kadang kita terperangkap dengan tujuan dan bidang kajian, dimana pemodelan itu sendiri dibangun dan dikembangkan. Karena, model – kadang – dimaknai sesuai tujuan atau bidang kajian yang dimaksud. Seperti forecasting model, jelas ini adalah model yang dibangun untuk melakukan prediksi. Atau, matematical model, ini merupakan model yang dikembangkan dengan domain matematika sebagai domain ilmu utamanya; sehingga, penggunaan persamaan dan formula matematikanya menjadi lebih dominan sebagai selimut deskripsi model tersebut. Atau simulasi; simulasi hanyalah salah satu tujuan dibentuknya model, ditampilkan dalam bentuk tampilan dinamis (berdasar dimensi waktu) dan tidak statis; dan juga memiliki sifat input yang random dan memiliki posibiliti muncul menjadi input, yang disebut dengan stokastik bukan deterministik. Jadi, kadang  kita menyebut model sebagai forecasting, matematika dan simulasi; bukan, semua itu hanyalah nama model yang diambil dari tujuan pembuatan model atau bidang kajian dimana model itu dikembangkan.

 Gambar 2. Parameter Dukung Pengembangan Model (Utama, 2014)

Model, harus bersifat akademis logis. Dimana berbagai syarat ketat menjadi acuan bagaimana model tersebut dikembangkan. Model dikembangkan haruslah menggunakan metode yang absah, baik metode analisisnya, perhitungannya, prediksinya, atau verifikasi dan validasinya. Absah, menjadi salah satu syarat metode yang digunakan untuk mengembangkan model yang bersifat akademis logis; dimana status ‘pernah dipublikasi’ dari metode yang digunakan adalah salah satu syarat keabsahan metode tersebut. Metode harus berdasarkan teori sebelumnya dan ada realitanya; sehingga pada akhirnya model harus memiliki nilai verifikasi yang tinggi (kesesuaian dengan teori atau metode yang telah absah) dan juga memiliki nilai validasi yang baik (kesesuaian dengan sistem nyata yang dimodelkan). Sedangkan, teknologi informasi, bahasa pemrograman, alat ukur atau aplikasi lainnya; hanyalah berbagai jenis tools yang digunakan oleh para modeler untuk mengembangkan model itu sendiri. Parameter yang dibutuhkan di dalam pengembangan model dapat dilihat pada Gambar 2.

Itulah model. Memahaminya tanpa ada sekat definisi menjadikan kita lebih paham dan mampu dengan tepat memposisikan model pada nalar pemahaman besar kita. Sehingga, jika semua permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan melalui kaidah-kaidah pemodelan, diharapkan kasus permasalahan yang bersifat quantitatif maupun qualitatif, dapat dipecahkan secara nyata, tanpa ada prasangka buruk, bahkan titipan intervensi rusak. Karena model adalah nyata, terukur, sempit, ternalarkan, logis, penuh perhitungan dan tentu dapat dipahami dengan sangat sederhana dari sudut pandang yang benar. Bahkan, jika kita mau menalar sedikit lebih komprehensif dan holostik, keberadaan jagat raya berserta semua isi dan ciptaanNYA ini pun; merupakan ‘model nyata’ yang ALLAH hadirkan, untuk dapat ditalar oleh akal manusia dengan sangat logis dan masuk akal, dalam rangka memahami hakikat nyata dari wujud keberadaanNYA. Dan – begitu – juga, ketika ALLAH mencoba untuk menghadirkan seorang contoh teladan, DIA mengutus Muhammad SAW sebagai ‘role model’ yang patut diikuti setiap tindak-tanduknya oleh semua manusia bumi.

Referensi
Achkar H. 2013. Modeling Introduction. Testoptimal [access date: 23.01.2013]
Al-Hassani STS. 2012. 1001 Inventions – The Enduring Legacy of Muslim Civilization, Third Edition. Washington DC: National Geographic Society.
Einstein A. 1925. Quantentheories des Einatomigen Idealen Gases. Leiden: Leiden University.
Fearing P. 2000. Computer Modelling of Fallen Snow. ACM Publisher.
MacKay B. 2012. Mathematics and Statistics Models. Clark College.
Maria A. 1997. Introduction to Modeling and Simulation. Proceeding of the 1997 Winter Simulation Conference.
Utama DN. 2014. Model and Modeling. Presentasi Pertemuan PPI Göttingen Jerman.
Van-Roy P, Haridi S. 2003. Concepts, Techniques, and Models of Computer Programming. Swedish Institute of Computer Science.



Memahami Hakikat Bidang Studi

Faculty of Mathematics and Informatics, Göttingen University
@Göttingen – Germany, January 10, 2014

Bismillah...
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu yang menciptakan" (QS. Al-‘Alaq [96]: 1).

Selama Indonesia berdiri, semenjak dimerdekakan pada tahun 1945, negara subur ini telah mengirim beribu bahkan puluhan ribu anak mudanya ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Berbagai jenis program dan beasiswa seperti disawer, sehingga kesempatan itu sangatlah mudah untuk disentuh. Memang tidak semudah yang dibayangkan juga untuk mendapatkannya; hanya saja, setidaknya itu semua merupakan segelintir usaha dari pihak penyelenggara negara untuk mencoba mengangkat harkat bangsanya dari keterpurukan yang menistakan. Apakah harkat bangsanya terangkat setelah itu? Itu urusan lain. Biarkan fakta yang berbicara.

Disini, aku hanya ingin bercerita lalu – saja – mengenai hal yang aku anggap penting; dan tentunya karena aku ingin – sekedar – berbagi sebulir pemahamanku ini. Aku ingin menuliskan berpenggal kata atas kalimat mengenai bidang studi atau bidang ilmu. Tidak dapat dinyana, bahwa orang – pada umumnya – memilih bidang studi berdasarkan hal-hal yang dipandang sangat sempit. Orang memilih bidang studi pendidikannya, biasanya sangatlah berhubungan erat dengan trend keterkinian pada jamannya; atau berhubungan dengan profesi tertentu, karena profesi tertentu tersebut – diprediksi – akan mampu mendatangkan income yang berlimpah; atau bisa jadi memang orang tersebut – dalam rangka memilih bidang studi itu – karena ingin menguasai bidang ilmu yang dimaksud, namun tanpa ada ghiroh lain, ya selain menguasai bidang ilmu yang dimaksudkan tersebut.

Trend dari sebuah bidang studi, dirasakan sangat dapat mengangkat moral para mahasiswa atau lulusannya. Sebut saja, pada satu waktu, menjadi insinyur, membuat bulu kuduk orang yang mendengarnya sempat berdiri. Atau menjadi programmer, sempat – sangat – booming dan bikin iri hati di waktu teknologi informasi mulai menggeliat dan menunjukkan gigi taringnya. Orang pada umumnya, mengambil bidang studi dan kajian tersebut, karena trend sesaat pada waktu itu saja; tidak lebih, bahkan – mungkin – tidak kurang.

Atau pemilihan bidang studi dikarenakan berhubungan erat dengan profesi. Situasi ini sangatlah memungkinkan, bahwa sebuah program studi di universitas-universitas tertentu kebanjiran peminat. Semakin tinggi uang kuliah, semakin banyak peminatnya; karena bidang studi tersebut diprediksi menjanjikan kemapanan profesi selepas menuntut ilmunya. Sebut saja bidang studi kedokteran. Berapa besar uang yang harus digelontorkan seseorang yang ingin masuk ke program studi tersebut; karena ketajiran seorang dokter sempat terlintas di benak sang calon mahasiswa selepas ia lulus nantinya.

Lain lagi halnya dengan memilih bidang studi karena alasan untuk dikuasai ilmunya; dan menjadikan orang yang menguasai ilmunya tersebut menjadi pakar di bidangnya. Ini kemungkinan terakhir. Orang mengambil bidang studi ini karena kesukaan, hobi dan selanjutnya ingin memperdalamnya. Dimana – kadang – bidang studi ini – pada akhirnya – menjadi sudut pandang atau mindset arogan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada.

Lalu apakah salah? Yang jelas tidaklah benar, jika tidak ingin disebut salah. Tentulah ada yang salah letak, misplace; ketika bidang studi dipelajari hanya karena trend sesaat, atau alasan ekonomi dan kemakmuran sempit, apalagi menjadi sudut pandang karena kepakaran orang yang menguasainya. Bahkan, ketika bidang studi tersebut dipelajari dan menjadi sudut pandang atau mindset seseorang, ini sangatlah dangkal. Ya, sangat dangkal. Tentu sangatlah tidak benar; misalnya, ketika melihat permasalahan dan kondisi bangsa Indonesia hanya dilihat dari sudut pandang pada faktor meningkat atau menurunnya tingkat ekonomi atau inflasi semata; hanya karena – alasan – dia seorang ekonom (pakar ekonomi di bidang studi ekonomi). Atau – misal yang lain, ketika menilai bangsa Indonesia hanya dari sudut perkembangan industri kreatifnya saja; hanya dikarenakan dia seorang artis atau pakar industri kreatif. Tidak bisa ditampikkan, bahwa – masih – ada ribuan bahkan jutaan variabel dan parameter lain yang harus dilihat utuh sebagai satu kesatuan sistem, ketika kita melihat kondisi dan permasalahan bangsa Indonesia. Dan – tentu pula – menjadi sebuah keniscayaan, bahwa sudut pandang ilmu pengetahuan, tidak mampu dan tidak akan pernah bisa digunakan sebagai satu sudut pandang implementasi atau penyelesaian masalah. Semua haruslah dilihat pada satu kesatuan utuh dan sistemik. Semua haruslah dilihat dari kacamata dan sudut pandang yang lebih holistik dan menyeluruh.

Sehingga, bidang studi – seyogyanya – dipilih karena dua alasan besar. Pertama, bidang studi itu dipilih, karena memang manusia memiliki keterbatasan atas kemampuan analisis, nalar, finansial, fisik, atau keterbatasan lainnya; yang memang terkarakteristikan pada seorang manusia sebagai alasan logis, bahwa manusia hanyalah makhluk ALLAH yang harus memiliki keterbatasan; sedangkan ZAT pencipta adalah tanpa batas dan sempurna atas segala. Kedua, alasan memilih sebuah atau beberapa bidang studi adalah karena bidang studi itu digunakan sebagai area jamah yang harus dikaji dan dipelajari sampai titik nadir pemahaman filosofis. Bidang studi tersebut dipilih dalam rangka mencari pembuktian empiris dan logis akan kebesaran ALLAH, serta menjawab akar jawaban pasti, bahwa ALLAH lah sebagai asal semua usul jagat beserta isinya ini, sebagai pengkehendak dan penggulir tunggal setiap skenario berjalannya alam pada nilai dan value qadha dan qadarNYA yang hakiki.

Oleh karenanya, mengapa para ulama atau para pemilik ilmu mumpuni di jaman keemasan islam dulu, merupakan orang-orang yang menelusuri ilmu pengetahuan pada aneka ragam jenisnya. Karena memang, para ulama dan ilmuan islam tersebut, memiliki ghiroh dan semangat menuntut ilmu yang – sangat – tidak dibatasi oleh keprofesian yang sempit; namun diunjukkan dan hanya ditunjukkan kepada sang pencipta, ALLAH Rabbul Izzati. Ilmu yang dikaji – pada waktu itu – merupakan ilmu yang diturunkan dari kebenaran hakiki. Para ulama dan ilmuan merupakan orang-orang yang menguasai berbagai jenis ilmu, yang secara otomatis mumpuni dalam ilmu islam, karena hakikatnya kebenaran hakiki itu adalah islam itu sendiri.

Sebenarnya, pada awalnya ilmu itu adalah satu. Orang melakukan iqra, kajian dan analisis dari satu ilmu yang satu, berasal dari zat yang satu, ALLAH. Karena untuk menstrukturkan dan menjabarkan penggambaran yang nyata; maka pengklasifikasian ilmu itu terjadi pada akhirnya. Sehingga muncullah bidang-bidang studi atau bidang-bidang ilmu yang lebih sempit keberadaannya. Apalagi, bidang-bidang studi tersebut semakin lama semakin dikebiri definisinya, hanya dihubungkan dengan profesi keduniawian saja.

Sebagai contoh kecil. Dahulu Ibnu Khaldun (abad 14), seorang ilmuan atau ulama berasal dari Tunisia, tidak pernah berfikir melakukan kajian ilmu berdasarkan bidang studi keprofesian. Ibnu Khaldun mengkaji aspek-aspek kehidupan manusia dan hewan, yang sekarang menyempit menjadi  bidang biologi dan zoologi; aspek kehidupan tanaman, yang sekarang menyempit menjadi bidang botani; aspek jabaran mengenai determinisme lingkungan, yang sekarang menyempit menjadi ilmu lingkungan; aspek perubahan logam dan elixir, yang sekarang menyempit menjadi bidang studi kimia; termasuk berbagai aspek ilmu sosial, yang sekarang dibagi-bagi lagi menjadi berbagai jenis bidang kajian; hanyalah untuk membuktikan sampai pada level filosofis atas kuasaNYA, bukan karena alasan trend, ekonomi atau mindset. Begitu juga dengan para ulama lainnya; tidak pernah terlintas – di benak dan kepala mereka – untuk memahami sebuah kajian ilmu, karena alasan sempit, selain karena alasan tunggal, ALLAH Azza wa Jallla.

Maka dari itu, kejarlah ilmu itu, kejarlah batas dan nilai filosofis itu; sehingga akan terpahamkan hakikat segala pada akhirnya; sehingga akan semakin teryakinkan pula untuk mengenal siapa tuhan segenap alam; yaitu tiada tuhan selain ALLAH, dan Rasulullah adalah utusanNYA, serta islam adalah bukan hanya sekedar agama, namun sebuah term dan mindset penjelas atas implementasi keteraturan hukum, aturan dan ketertundukan segala...

Alhamdulillah...

Penelitian, Bukan Sekedar Ritual


Faculty of Mathematics and Informatics, Göttingen University
@Göttingen - Germany, August 22, 2013
Originally shared on Kalam - Göttingen (Klik disini)

Bismillah…
Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa ALLAH menurunkan air dari langit, lalu diaturnya menjadi sumber-sumber di bumi, kemudian dengan air itu ditumbuhkanNYA tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, kemudian menjadi kering, lalu engkau melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikanNYA hancur berderai-derai. Sesungguhnya, pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az-Zumar [39]: 21).

… ALLAH akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Dan ALLAH Maha Teliti apa yang kamu kerjakan“ (QS. Al-Mujadilah [58]: 11).

Seharusnya aktivitas penelitian adalah aktivitas yang sangat mengasyikan. Seharusnya aktivitas penelitian dikerjakan dengan buncahan semangat yang tinggi dan membumbung. Seharusnya – pula – aktivitas penelitian telah mejadi roh para akademisi dan para peneliti, bahkan roh pada setiap orang islam yang menuntut ilmu; pada setiap orang islam, karena menuntut ilmu adalah kewajiban yang harus ditunaikan selama hayat masih di kandung badan.

Penelitian merupakan aktivitas mencari kembali (makanya istilah dalam bahasa Inggris adalah re-search) segala hal yang terurai dan terderaikan; untuk dapat dirangkai kembali dalam sebuah cerita utuh nan terstruktur dan – tentunya – logis sistematis. Kelogisan penelitian, bukan hanya ditunjukkan dari hasil yang didapat saja, namun juga kelogisan yang menyelimuti cara yang digunakan, alasan yang melatarbelakangi, serta teknologi atau alat yang dimanfaatkannya; sehingga penelitian yang dilakukan menjadi lebih akurat dan presisi pada akhirnya.

Latar belakang munculnya sebuah aktivitas penelitian, bisa jadi karena adanya permasalahan yang sedang dihadapi (pull oriented) atau karena ingin menyampaikan sebuah konsep yang orang lain belum tahu (push oriented) sebelumnya. Pendekatan pull oriented, biasanya digunakan pada sebuah ranah dimana permasalahan ada dan mengikis serta mengurangi kualitas berkehidupan; sehingga kondisi ideal tidak mampu terimplementasikan secara optimal, atau kondisi ideal terganggu keberlangsungannya. Kondisi yang tidak ideal ini memungkinkan para peneliti untuk merangkai kembali sebuah metode absah yang tersusun secara logis, sebagai solusi permasalahan yang sedang dihadapi tersebut. Namun, solusi itu bukanlah sebuah penemuan baru, bukan juga sebuah ciptaan baru; solusi hanyalah sebuah rangkaian cerita logis atas ilmu dan pengetahuan yang tercerai-berai yang berhasil dicari kembali. Solusi tersebut hanyalah sebuah paparan ilmu dan pengetahuan dalam sebuah sudut pandang tertentu, yang berkesan bahwa solusi tersebut terasa baru; padahal sama sekali tidak. Si peneliti hanya mencoba untuk mencari kembali, melakukan uji coba kelogisan, lalu kemudian merangkai dan merangkum kembali aliran ceritanya dalam sebuah rangkaian cerita yang sistematis. Tidak ada ilmu dan pengetahuan baru yang didapat, yang ada hanyalah cara penyampainannya saja yang – dianggap – baru.

Contoh sederhana, apa yang baru dengan sistem ekonomi syariah? Sebuah solusi logis atas carut-marutnya kegagalan implementasi sistem ekonomi kapitalis. Sama sekali tidak ada yang baru dengan sistem ekonomi syariah, bahkan Rasulullah pun telah menerapkannya 16 abad yang lalu; hanya saja para peneliti di bidang ini mencoba kembali untuk merangkai cerita utuh yang telah terurai berai, dan kembali disampaikan dalam berbagai sudut pandang yang meyakinkan. Lalu, bagaimana dengan solusi kesehatan berupa terapi madu? Sama sekali tidak ada yang baru, bahkan cerita lebah saja ALLAH abadikan di dalam Al-Qur’an; yang ada hanyalah bahwa peneliti dan ilmuan mampu merangkai – kembali – cerita logis serta mampu meyakinkan domain ilmu kedokteran, bahwa madu sangatlah berkhasiat untuk kesehatan manusia. Dan masih ada ribuan bahkan jutaan lain temuan-temuan yang bersifat solutif yang sangat bermanfaat bagi alam dan berkehidupan. Satu hal yang pasti, para peneliti dan ilmuan tersebut bukanlah menciptakan ilmu, bukan pula menciptakan pengetahuan; mereka hanya merangkai kembali atas apa-apa yang mereka temukan (discovery).

Begitu juga dengan pendekatan kedua, push oriented. Berkesan bahwa alat atau teknologi yang dihasilkan merupakan cerminan penciptaan ilmu dan pengetahuan baru. Padahal tidak sama sekali. Ilmu dan pengetahuan tidaklah pernah terciptakan oleh manusia, dia bersifat given dan telah terjadi. Ilmu pengetahuan telah tersempurnakan adanya, telah terciptakan oleh Creator yang maha Agung, ALLAH Azza wa Jalla. Hanya saja, para peneliti dan ilmuan yang menggunakan pendekatan ini (push oriented), mencoba merancang kembali, membangun kembali, merangkai kembali; semua temuannya tersebut (discovery juga) dalam sebuah bentuk sistematis yang kita sebut alat atau teknologi; sebagai media bantu mereka, para peneliti dan ilmuan, untuk bercerita agar lebih mudah dipahami (analogi atau replika). Alat dan teknologinya mungkin saja ‘baru’, karena bentuk, fungsi dan perangkat, serta elemen-elemen penyusunnya; padahal secara filosofis, dia hanyalah analogi atau replika dari rangkaian ilmu dan pengetahuan yang telah given adanya.

Contoh, apa yang baru dengan pesawat? Sehebat apa pun alat dan teknologi yang menyusun pesawat, dia tidaklah pernah me-replace ilmu pengetahuan tentang kesetimbangan dan hakikat terbang burung. Bukan Abbas ibn Firnas sebagai penemu burung, bukan juga Abbas ibn Firnas yang menciptakan burung. Pesawat hanyalah analogi atau replika untuk membuktikan bahwa ilmu ALLAH – yang berupa burung tersebut – sangatlah begitu tinggi dan tidak tertandingi.  Lalu, bagaimana dengan ilmu aljabar? Dalam hal ini, Abu Abdullah Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi hanya mencoba merangkai kembali cerita dan fenomena alam yang terurai-berai, yang coba beliau sajikan dalam bentuk teori al-jabr. Teori penyampaiannya baru, tapi tidak ada yang baru sama sekali dengan ilmu dan pengetahuannya. Lalu, bagaimana dengan penemuan teori mengenai optik. Optik tidak pernah dibuat, namun hanya ditemukan oleh seseorang benama Ibn al-Haitham; yang dengan rankaian sintesis refleksi cahayanya, menjadikannya penemuan tersebut bermanfaat besar. Kemudian, bagaimana dengan teknologi informasi? Sama saja. Dia hanyalah analogi atau replika semua hukum dan algoritma ALLAH yang telah terejawantahkan dengan sangat sistematis dan terstruktur di alam nan raya ini.

Begitulah penelitian. Sebuah keyakinan atas satu hal yang pasti, bahwa ALLAH telah menyempurnakan semua ilmu dan pengetahuanNYA. Manusia hanya mencoba untuk mencari dan merangkai – kembali – cerita atas ilmu dan pengetahuan tersebut, agar mampu teranalogikan dengan sangat logis dan tereplika dengan sangat mudah untuk dicerna oleh akal manusia. Sehingga derajat keyakinan atas hukum-hukum dan aturan-aturanNYA yang terpetakan di alam jagat raya ini bertambah mumpuni. Jadi wajarlah, ALLAH akan mengangkat beberapa derajat bagi orang-orang yang menggunakan akalnya, orang-orang yang ALLAH anggap sebagai ulil albab; yaitu orang-orang yang mampu menemukan jawaban atas sebagian kecil keabsahan struktur ilmu dan pengetahuan ALLAH yang sangat cetar membahana dan luas tersebut; yaitu orang-orang yang melakukan penelitiannya bukan hanya sekedar untuk menuntaskan aktivitas ritual saja, namun mampu merangkai secara sangat logis semua hal yang terciptakan oleh ALLAH Azza wa Jalla…

Alhamdulillah…

Fenomena si Kura-Kura XL Programming

Author: Ditdit Nugeraha Utama
Faculty of Mathematics and Informatics, Göttingen University
@Göttingen - Germany, November 9, 2012

Bismillah...
Abstract
Turtle geometry is one method uses the biological turtle concept as a virtual device to draw or construct the model of design in two or three dimension space. By using three sides of turtle: head, up and left, the programmer can imagine to draw and construct 2D or 3D model easily. The difference of constructing point of view, make the concept can be understood hardly. To make it easier, the new concept of method named the ant on wall algorithm proposed. This article will explain the basic reason of proposed method called TAWA in short.
Keywords: turtle geometry, two dimension, three dimension, the ant on wall algorithm

Penjelasan Makalah
Binatang kura-kura telah mengilhami terlahirnya algoritma dasar pemrograman XL (XL Programming), yang merupakan sebuah bahasa pemrograman tingkat lanjut dari L-Systems; sebuah bahasa pemrograman yang terlandaskan oleh tiga jenis paradigma pemrograman: imperatif, berorientasi objek dan berbasis aturan. Kura-kura - secara biologi - dijadikan ilham ide dasar pemrograman, karena pergerakannya pada tanah memungkin meninggalkan jejak berupa objek gambar atau objek garis lurus; dimana selanjutnya dipakai sebagai dasar pengembangan model terstruktur 2D atau 3D. Hanya saja implementasi ini, pada GroIMP platform (Growth Grammar-Related Interactive Modeling Platform, sebuah platform untuk pengembangan model 2D atau 3D), menjadi - agak sedikit - sulit dipahami; karena perbedaan sudut lihat. Perbedaan ini sangatlah penting untuk mampu menafsirkan apa yang akan dibuat dalam waktu yang singkat dengan sangat mudah; bukan mempersulit atau malah mensalahtafsirkannya. Jangan jadi seperti - maaf - tiga orang buta yg mencoba untuk memahami gajah, yang akhirnya membuat putusan atas simpulan yang tidak tepat; karena kesalahan sudut lihat tadi. Permasalahan ini yang ingin coba aku angkat ke permukaan; bahwa salah sudut pandang yang sederhana, akan mengakibatkan sulitnya menerapkan konsep tersebut pada saat proses programming.

Selain menjadi konsep dasar penggambaran pemodelan 2 dan 3 dimensi, konsep turtle pun dikembangkan sedemikian rupa, sehingga dengan menggunakan konsep ini, bahasa pemrograman XL mampu untuk melakukan penyimpanan informasi, baik dalam bentuk grafik dan non-grafik; dan juga konsep ini memungkinkan untuk pemetaan kembali arah berdasarkan informasi statusnya, seperti besarnya dimensi, warna, panjang bidang dan properti-properti lainnya dalam rangka menggambarkan sebuah objek di dalam dimensi ruang (Kurth, 2010). Namun, pada artikel ini, konsep turtle hanya atas penggambaran ruang saja yang ingin aku kritisi; dan bermaksud untuk mem-propose metode baru yang sedang kami, bersama tim proyek disini, uji kelayakannya. Pengajuan metode ini pun tidak terlepas dari pengalamanku selama 5 tahun bermain-main dengan algoritma semut.

Ok, aku mulai dengan penjelasan singkat mengenai metode geometri kura-kura. Metode geometri kura-kura, atau dalam bahasa - sedikit - keren disebut dengan turtle geometry method, sebenarnya metode yang sangat mudah untuk dipahami dan dikaji. Bayangkan, seekor kura-kura yang berjalan di permukaan tanah; secara alamiah, akan memiliki 3 dimensi arah yang dapat dilihat - ketiga arah inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dasar sudut pandang dalam membuat objek gambar pada pemrograman XL atau GroIMP software - yaitu: depan (head), menunjukkan arah kura-kura berjalan dan dijadikan pijakan dasar memulai menciptakan arah objek gambar pada dimensi ruang; arah atas (up), merupakan arah vertikal dari batok kura-kura menuju atas; dan arah kiri kura-kura (left), merupakan arah kiri dari badan kura-kura (penjelasan ke tiga arah ini dapat dilihat pada Gambar 1). Sebenarnya jumlah dimensi arah gerak kura-kura tersebut - secara alami juga - adalah sebanyak 6 dimensi arah, namun arah sebaliknya - belakang, bawah dan atas - dianalogikan sebagai nilai kebalikannya (nilai negatifnya).

Gambar 1. Dimensi Arah dan Arah Rotasi pada Turtle Geometry (Kurth, 2010)
Garis lurus dari ketiga dimensi arah tersebut, akhirnya digunakan sebagai sumbu atau poros untuk melakukan rotasi gerakan penggambaran; dimana sumbu tersebut dijadikan sebagai patokan berapa derajat sudut yang akan dibentuk untuk memulai menggambarkan sebuah objek. Rotasi disimbolkan dengan huruf R, dengan ditambah H untuk Head sebagai porosnya; U jika Up digunakan sebagai porosnya dan L jika sisi Left digunakan sebagai porosnya (perhatikan Gambar 1). Misalkan, jika ingin memutar sebesar 45° dengan Up sebagai porosnya, maka perintah penggambaran objek garis (F(x), dengan x adalah nilai besaran pixel, seberapa panjang objek garis itu akan dibuat), maka perintah yang berlaku adalah RU(45) F(2); artinnya dari titik ordinat (0, 0, 0), akan digambar objek garis sepanjang 2 pixel - satuan panjang - dengan sudut sebesar 45° dengan sumbu rotasi Up. Sudut sebesar 45° yang di-code-kan dengan perintah RU(45), positif, berarti ada perintah merotasi atau menggeser sebesar sudut 45° searah jarum jam dengan sumbu rotasi adalah Up. Pada pemrograman XL atau GroIMP software, perintah RU(45) F(2) akan menghasilkan gambar seperti pada Gambar 2.

Gambar 2. Contoh Hasil Tampilan pada GroIMP (untuk RU(45) F(2))
Permasalahan akan terasa, karena pergerakan awal dari sebuah objek garis - atau apa pun - pada area gambar - layar komputer - yang biasa kita hadapi, semua arah gerakannya menuju atas (perhatikan sekali lagi Gambar 2). Untuk contoh Gambar 2, berarti - anda bisa bayangkan - analoginya adalah bahwa kura-kura menempel pada dinding (bergerak secara vertikal ke arah atas), lalu dirotasi / digeser sebesar 45° atas poros UP-nya (berarti miring 45° pada dinding) - ingat pada poros UP-nya - dan diperintahkan begerak sepanjang 2 satuan panjang (untuk ilustrasi posisi awal gerakan, anda bisa praktekkan dengan menempelkan telapak tangan kanan anda ke dinding, dengan arah jari menuju arah atas / vertikal dan menggesernya - searah jarum jam - sebanyak 45°, kurang lebih di posisi pukul 1.30). Karena untuk menggambarkan gambar seperti pada Gambar 2, rotasi menggeser sudut 45°, bukanlah dilakukan pada sumbu Head sebagai porosnya dengan perintah RH (bayangkan pula bahwa yang dimaksud dengan head adalah ujung jari-jari tangan anda); karena jika perintah RH(45) F(2) yang dieksekusi, gambar akan nampak seperti pada Gambar 3; dengan sudut lihat yang sama, akan dihasilkan gambar objek garis yang berbeda; karena perputaran rotasi sudut pada sumbu Head (RH), tidak akan merubah arah dalam membuat objek gambar (sama dengan memiringkan telapak tangan anda dari dinding, bukan menggesernya sebesar 45° searah jarum jam); analoginya hanyalah merubah alas jalan si kura-kura, bukan arah gerak. Mengapa analogi tersebut menjadi masalah? Jelas masalah, karena tidak ada satu pun kura-kura di dunia ini yang mampu berjalan tegak lurus secara vertikal atau menempel pada dinding!

Gambar 3. Contoh Hasil Tampilan pada GroIMP (untuk RH(45))
Permasalahan menjadi lebih rumit, karena bukan hanya menyangkut dimensi ruang saja konsep bahasa pemrograman XL ini digunakan untuk membuat model; namun harus diketahui bahwa pemrograman XL merupakan bahasa pemrograman yang menggabungkan berbagai jenis bahasa dan paradigma pemrograman. Pemrograman XL merupakan bahasa yang mampu mengimplementasikan Rational Growth Grammar (RGG) pada lingkungan bahasa pemrograman java; atau bisa dikatakan bahwa XL adalah implementasi RRG berbasis java (Kniemeyer, 2004). Selanjutnya, bahasa pemrograman XL ini diintegrasikan dengan platform pemodelan, yaitu GroIMP. Perhatikan struktur kode program dari pemrograman XL - pada contoh Kode 1- untuk menghasilkan gambar sederhana pada Gambar 4.

Kode 1. Contoh Kode Program XL Sederhana
Gambar 4. Contoh Tampilan Hasil Kode Sederhana
Dari alasan itulah, aku mencoba untuk menyisipkan ide algoritma baru, yang coba aku beri nama Algoritma Semut pada Dinding (GaSIng), atau supaya terdengar - sedikit - lebih keren, kita sebut saja The Ant on Wall Algorithm (TAWA). Ide dasar dari GaSIng atau TAWA ini sangatlah dasar, karena sulitnya aku memahami  pengembangan model berdimensi ruang, yang diakibatkan karena ada kesalahan sudut lihat tadi; selain memang, semut adalah salah satu binatang yang ALLAH abadikan nama dan tingkah lakunya di dalam Al-Qur'an. Cerita sedikit tentang semut ini, aku pernah membahasnya pada salah satu artikel tentang ACO di blog ini.


Referensi 
Kniemeyer O. 2004. Rule-Based Modeling with the XL / GroIMP Software. Proceeding of 6th GWAL, AKA Berlin, Bamberg, 2004: 56 - 65.

Kurth W. 2010. Model and Simulation with GroIMP. Goettingen: University of Göttingen.